Label:

Kesadaran Pribadi, Domestik & Internasional dalam Kehidupan


Kesadaran Pribadi:

Belajar Melestarikan Bahasa Daerah dari Apu Palamguwan Center
Selasa, 28 Juni 2011

Bahasa daerah adalah salah satu warisan budaya nonbenda (intangible heritage) bangsa Indonesia yang mengandung peristiwa historis dan kultural di balik makna-maknanya.  Menurut  Direktur Peninggalan Purbakala Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Junus Satrio Atmojo (9/1/2010),  sudah sekitar 15 bahasa daerah yang sudah punah. Dan menurut  Multamia RMT Lauder dari Departemen Linguistik, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (13/6/2010), ada sekitar 169 bahasa daerah yang kini terancam punah.
Indonesia sekarang terdiri dari 33 provinsi, mempunyai 17.504 buah. pulau dan   7.870 di antaranya telah mempunyai nama, sedangkan 9.634 belum memiliki nama. Terdapat  1.128 suku bangsa dan 750 bahasa daerah.  Alangkah indahnya keberagaman seni dan tradisi  Indonesia. Ribuan sumber mata air tradisi telah mengilhami nasionalisme keindonesiaan founding fathers negeri ini.
Ada suatu realitas tarik-menarik antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah dalam proses pendidikan di daerah-daerah luar Jawa. Romo Chr. Aria Prabantara, SJ, yang pernah menjadi guru  di di SMA Adhi Luhur di Papua menyatakan bahwa seorang siswa Papua harus bekerja keras untuk bisa memahami bahasa Indonesia agar memahami materi pelajaran yang disampaikan oleh guru penutur bahasa Indonesia.
‘Ada seorang siswa sekolah dasar  Papua dari suku Mee, Nabire, Papua, ia tidak hanya belajar keras dalam bahasa Indonesia, namun ia juga harus belajar bahasa daerah Papua lainnya  jika ia melanjutkan sekolah menengah pertama (SMP) ke desa lain di sekitarnya. Karena terdapat beberapa sub-suku Mee. Selain itu, ia harus belajar bahasa Inggris juga.’
‘Seorang siswa lain dari suku Mee bernama Siprianus Bunay, mengatakan tidak mengertia bahasa Indonesia ketika di tingkat sekolah dasar. Ia hanya mengingat dan menghafalkan apa yang diucapkan guru penutur bahasa Indonesia. Ketika pelajaran usai, ia hanya mengingat apa yang ia dengar dari gurunya, lalu mengulanginya berkali-kali kalimat-kalimat bahasa Indonesia itu. Bahkan kadang-kadang ia  mengucapkannya berkali-kali di hutan dengan suara keras. Ketika ia diuji dalam bahasa Indonesia, ia masih tak bisa menjawabnya. Mungkin ia masih tak mengerti apa yang ia tulis.”
Cerita pengalaman Romo Aria  di atas, membuat Romo Aria berpikir apakah perlu menggunakan bahasa daerah Papua untuk mengajar? Itu mungkin akan menolong mereka daripada langsung mengajar dengan bahasa Indonesia. Di Papua saja menurut penelitian  SIL (Summer Institute of Linguistic) terdapat 250 jenis bahasa daerah Papua.

Persoalan linguistik
Para guru di Papua kebanyakan berasal dari Jawa, Sulawesi, Ambon dan pulau-pulau sekitar Papua. Mereka tidak menguasa bahasa Papua. Andaikan mereka menguasai bahasa Papua, tentu proses belajar-mengajar akan optimal.  Tidak mudah bagi guru-guru nonpapua untuk menguasai bahasa daerah Papua mengingat terdapat 250 bahasa daerah Papua. Bahkan menurut Romo Aria, hampir tidak ada guru nonpapua yang menguasai bahasa daerah. Guru-guru nonpapua di pedalaman sungguh merasakan hal ini. Akibatnya banyak anak Papua yang tidak mengetahui tentang pelajaran yang diberikan. Mereka tidak bisa membaca dan menulis dengan lancar. Tapi uniknya, ketika anak-anak Papua disuruh membaca bahasa mereka sendiri dalam bentuk tulisan, banyak dari mereka tidak lancar ketika membacanya. Dengan kata lain, persoalan linguisitik menjadi kendala utama dalam sistem pendidikan di Papua.
Pengalaman menarik
”Anak-anak Papua itu sangat haus akan pengetahuan, akan pendidikan yang baik. Namun karena pondasi pendidikan mereka tidak beres (SD dan SMP) maka merekapun mengalami kesulitan. Semangat itulah yang membuat saya merasa "jatuh cinta" pada mereka. Ada dua hal yang masih membuat saya penasaran. Pertama, budaya Papua masih kental dengan budaya melihat dan mendengar. Maka pertanyaannya mungkinkah mengajar dengan lebih banyak menggunakan metode audio visual bisa menjadi salah satu solusi mengajar? Kedua, itu tadi, menggunakan bahasa ibu pada saat mereka duduk di Sekolah Dasar,” ungkap Romo Aria.
Cukup menarik tawaran ide Romo Aria di atas, mengingat begitu luas wilayah Indonesia dan begitu banyak ragam bahasa daerahnya. Sudah waktunya Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) mengevaluasi kembali sistem dan model kurikulum pengajaran yang berbasis bahasa daerah sekaligus sebagai upaya pelestarian bahasa daerah dalam rajutan spirit keindonesiaan. ”Tapi menurut teorinya demikian bahwa anak-anak  usia SD akan lebih baik bila diberi pelajaran dengan menggunakan bahasa ibunya, bahasa daerah. Teori ini dikeluarkan oleh para ahli maka kiranya bisa menjadi rujukan yang resmi,” tambah Romo Aria.Tentu dengan melibatkan ahli linguistik dan pakar heritage Indonesia. Untuk itu perlu dilakukan survei dan riset yang mendalam di Tanah Papua.
Namun apakah Depdiknas punya kemauan melakukan hal itu? Kalau tidak, globalisasi tak akan menyisakan  sama sekali warisan bahasa daerah peninggalan leluhur bangsa Indonesia di masa depan. 

Belajar dari Pulangiyen
Dari pengalamannya di Tanah Papua, Romo Aria melakukan kunjungan ke Apu Palamguwan Cultural Education Center (APC: www.apc.essc.org.ph) di Bendum, Provinsi Bukidnon, Filipina, 2-18 Februari 2011, dengan misi utama, mengenal penggunaan bahasa ibu di sekolah dasar bagi penduduk asli. APC merupakan lembaga pendidikan yang menerapkan metode pendidikan multibahasa (Mutilingual Education/MLE).
Lembaga sekolah ini muncul dari masyarakat sendiri, bukan dari orang luar. Ada LSM yang dengan gigih membantu mereka.  Selain itu, pemerintah Filipina cukup kooperatif, dengan diberikannya akreditasi bagi sekolah ini, sehingga lulusan sekolah ini setara dengan sekolah lain. Yang luar biasa,  sudah banyak guru-guru yang lahir dari suku tersebut, sehingga kelangsungan pendidikan bisa dijamin. Juga banyaknya kaum muda yang mau menjadi rekan kerja LSM ini, antara lain Jesuit Volunteer of Philippine.
Di sekolah ini para siswa mempelajari empat bahasa – Pulangiyen (bahasa ibu), Visayan (bahasa daerah yang digunakan di Mindanao dan Visayas), Tagalog dan bahasa Inggris (bahasa nasional Filipina). Para guru di APC begitu konsisten, kalau mata pelajaran diajarkan dengan bahasa Pulangiyen, siswa tidak boleh menggunakan kosa-kata bahasa Inggris, begitu juga sebaliknya. Kadang-kadang guru juga tak konsisten jika ada kosa-kata dalam sains yang tak ada pilihan katanya dalam bahasa Pulangiyen. Dengan sistem pendidikan MLE  para siswa bisa berbahasa lokal dan bahasa Inggris dengan baik. Untuk kondisi di Jawa saja, berapa jumlah anak yang menguasai bahasa Jawa baik secara linguistik dan kultural, tentu sudah bisa dikatakan semakin tahun semakin menurun.
Mempelajari bahasa Pulangiyen saja tidak cukup. Para siswa juga mempelajari kebudayaan Pulangiyen seperti tari, folklore, struktur komunitas, sistem sosial komunitas dan lain-lain. Jadi secara lingustik dan kultural dengan sistem MLE sudah melakukan langkah pelestarian bahasa Pulangiyen. Tidak hanya belajar mengungkapkan atau menerjemahkan kata per kata, melainkan juga menghidupkan kebudayaan.
Sudah saatnya sekarang sistem pendidikan di negeri ini mencari model kurikulum yang sekaligus menjadi jalan  pelestarian bahasa daerah, yang berdampingan dengan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi pemersatu bangsa. Mungkin sistem pendidikan MLE yang diterapkan di APC bisa menjadi inspirasi untuk perubahan sistem kurikulum pendidikan di daerah-daerah terpencil.pedalaman Indonesia seperti di Papua.
Bahasa Indonesia sebagai jembatan komunikasi dengan kebudayaan-kebudayaan lokal. Namun jangan sampai bahasa Indonesia menjadi sarana menghanguskan kekayaan ragam bahasa ibu (bahasa daerah) negeri ini. ”Hilangnya bahasa ibu juga berarti hilangnya masa depan kebudayaan dan rasa menjadi bagian dari suatu masyarakat,” kata Romo Aria. Yang tersisa, hanyalah kebudayaan tanpa identitas.(apw)
Sumber : http://dawetnesia.blogspot.com/2011/06/belajar-melestarikan-bahasa-daerah-dari.html

Kesadaran Domestik:

70 persen pemain barongsai Sulsel warga lokal
Senin, 23 Januari 2012 23:01 WIB

Makassar (ANTARA News) - Sekitar 70 persen pemain barongsai di Sulawesi Selatan (Sulsel) adalah warga lokal, sedang sisanya merupakan warga keturunan Tionghoa.
"Ini menunjukkan akulturasi budaya Tionghoa dan etnis lokal di Sulsel yakni Makassar, Bugis dan Toraja sudah menyatu," kata Dewan Pembina kelompok Barongsai Sulsel, Yongris, di Makassar, Senin.
Dia mengatakan, dengan banyak warga lokal yang mempelajari dan mendalami ketangkasan atraksi Barongsai, maka warga lokal dapat mempelajari budaya Tionghoa.
Tokoh masyarakat Tionghoa itu mengemukakan, warga keturunan Tionghoa juga lambat laun mendalami dan beradaptasi dengan budaya Bugis, Makassar dan Toraja.
Mencermati fenomena tersebut, dia mengatakan, keberadaan warga keturunan Tionghoa di daerah ini sudah dapat diterima, baik melalui akulturasi budaya maupun di bidang lainnya seperti bidang jasa, ekonomi, sosial dan politik.
"Warga keturunan Tionghoa selama 30 tahun pada masa Orde Baru sempat terkungkung, namun setelah kran reformasi dibuka, maka warga keturunan juga diberi hak untuk sejajar dengan Warga Negara Indonesia," ujarnya.
Mengenai perayaan Imlek 2563, pengurus Perwakilan Umat Budha Indonesia (Walubi) Sulsel tersebut mengatakan, pada tahun Naga Air ini memberikan pengharapan bagi warga keturunan Tionghoa bahwa kehidupan ke depan akan lebih baik dan dinamis.
Khusus di Kota Makassar, ia mengemukakan, diharapkan akan lebih dinamis baik dari segi ekonomi, politik dan sosial dengan tetap menjaga harmonisasi kehidupan.
"Jadi pada tahun Naga Air ini akan memberikan sikap optimistis untuk mendukung kedinamisan, namun tetap berupaya menjaga hubungan harmonis antara para pihak," katanya.
(T.S036/F003)
Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © 2012
Sumber : http://www.antaranews.com/berita/294074/70-persen-pemain-barongsai-sulsel-warga-lokal

Kesadaran Internasional:

Mahasiswa Asing Membeludak Belajar Kebudayaan Indonesia
Senin, 26 September 2011 , 09:04:00

JAKARTA – Jumlah mahasiswa asing yang belajar mengenai kebudayaan di Indonesia mengalami lonjakan tajam. Melalui program Darmasiswa, setidaknya 750 mahasiswa dari 73 negara menimba ilmu mengenai budaya, bahasa, dan kerajinan tangan di beberapa universitas. Jumlah tersebut meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya 623 orang dari 65 negara.
Sekjen Kementerian Pendidikan Nasional Ainun Naim mengatakan, lamaran mahasiswa yang ingin kuliah di Indonesia mencapai 1.800 orang. Tapi hanya 750 yang lulus seleksi. Diharapkan 2012, ada 1.000 yang datang.
 "Ini soft diplomacy untuk memperkenalkan Indonesia tentang kehidupan demokrasi, multicultural, juga merespon pemahaman yang bisa salah mengenai Indonesia," ujar Ainun di Jakarta.
Menurut Ainun, mahasiswa asing tersebut akan kuliah di Indonesia 6 bulan sampai 1 tahun. Setiap bulannya mereka mendapatkan biaya hidup Rp 2,5 juta per bulan. "Tahun depan kita inginkan ada transfer kredit. Nantinya dalam sertifikat dicantumkan. Kredit itu bisa dipakai dan diakui di luar negeri bahwa mereka pernah belajar di sini," terangnya.
Tidak hanya itu, kata Ainun, untuk memperkenalkan tanah air, pemerintah berencana membuka  program studi Indonesia di luar negeri. "Di Ohio State, Amerika Serikat ada yang mempelajari gamelan," katanya.
Ketua Sekolah Tinggi Pariwisata (STP)  Sahid Kusmayadi mengatakan, Awalnya, STP hanya  menerima 2 orang, lalu naik menjadi 12 orang, dan sekarang ada sebanyak 22 orang siswa asing. Bahkan, kampus yang memiliki dormitory khusus ini juga menerima banyak mahasiswa asing  yang datang ke Indonesia tanpa sponsor."Ada puluhan mahasiswa asing dari Turki  yang memang datang ke Indonesia tanpas sponsor ataupun beasiswa. Mereka bayar dengan dana pribadi," ujarnya.
Disebutkan, siswa asing darmasiswa saat ini di STP Sahid totalnya ada 34 orang. Mereka belajar di jurusan hospitality dan pariwisata, namun wajib belajar bahasa dan kuliner. Pihaknya juga menerapkan metodelogi yang berbeda. Pada bulan pertama, pihaknya  memberikan pengajaran bahasa Indonesia sembari untuk memperkenalkan budaya Indonesia. Sedangkan di bulan selanjutnya, mulai diajarkan menpengetahuan lainnya tentang Indonesia. (cdl)
Sumber : http://www.jpnn.com/read/2011/09/26/103907/Mahasiswa-Asing-Membeludak-Belajar-Kebudayaan-Indonesia-

0 komentar:

Posting Komentar

 
Channel-13 © 2012 | Designed by Canvas Art, in collaboration with Business Listings , Radio stations and Corporate Office Headquarters